Molabot Tumpe dan Macrocephalon Maleo, Dua Permata Batui yang Mulai Tergerus

Jika mendengar kata “Maleo“, maka yang terbersit adalah seekor burung endemik sulawesi. Terkenal dengan ukuran telurnya yang super besar, 5 sampai 8 kali lipat ukuran telur ayam. Satwa kebanggaan sulawesi, bahkan Indonesia yang terkenal di berbagai penjuru dunia tidak kalah populer dibandingkan dengan Komodo di Nusa Tenggara.

Namun, tidak banyak yang mengetahui cerita di dalam telur maleo yang menyimpan kisah sejarah kerajaan Banggai dan keunikan “Tumpe” tradisi masyarakat batui yang menjadi agenda tiap tahunnya.

Belum lagi berita mengenai dirambahnya suaka marga satwa Bakiriang yang menjadi habitat alami burung Maleo di Kabupaten Banggai (beritalingkungan.com) dan adanya keterkaitan antara Maleo, upacara adat Tumpe dan berkembang pesatnya industri di kabupaten Banggai, menjadi sesuatu yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Kabarnya, maleo dan upacara adat Tumpe sudah mulai tergerus oleh lajunya perkembangan industri di daerah tersebut (Mongabay Indonesia, 2016).

Sekilas tentang Macrocephalon Maleo

Maleo
Maleo (www.faunadanflora.com)


Maleo Senkawor atau Maleo, burung endemik sulawesi dengan famili megapodiidae merupakan satu-satunya burung dalam genus tunggal Macrocephalon. Burung Maleo dengan nama ilmiah Macrocephalon Maleo, mempunyai keunikan yaitu saat baru menetas burung Maleo sudah dapat terbang, mempunyai ukuran telur yang super besar sekitar 11 cm dan berat 240 gram sampai 270 gram perbutirnya (Wikipedia Indonesia).

Ciri-cirinya, burung ini mempunyai bulu berwarna hitam, kulit kuning di sekitar matanya, iris mata berwarna merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh berwarna jingga, dan bulu bagian sisi bawah berwarna merah muda keputihan. Di bagian kepalanya terdapat jambul mirip ayam berwarna hitam.

Habitat burung Maleo yaitu di daerah pasir terbuka, sekitar pantai gunung berapi dan di daerah yang hangat dengan panas bumi untuk menetaskan telurnya. Populasi burung endemik ini hanya ditemukan di Gorontalo (Bolango dan Puhuwato) dan Sulawesi Tengah (Banggai, Tolitoli dan Sigi)
Maleo Senkawor masuk dalam kategori endangered (langka) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan masuk dalam daftar Appendix 1 oleh Convention on International Trade in Endangered of Wild Fauna and Flora (CITIES).

Sejarah Maleo dalam Upacara Adat Tumpe

Sejarahnya dimulai sekitar tahun 1500-an. Seorang lelaki bernama Adi Cokro (orang Banggai menyebutnya Adi Soko) berlayar dari kerajaan Kediri (Jawa) ke Banggai (Sulawesi). Dengan tujuan utama untuk memperdalam agama islam. Sejak tahun 1200-an ajaran islam sudah masuk di Banggai dibawa oleh Syeh Djabar dari Hadramaut.

Selang beberapa lama Adi Soko diangkat menjadi raja Banggai dan menikah dengan putri raja Matindok di Batui yang bernama Sitti Aminah. Dari pasangan ini lahirlah Abu Kasim. Kakeknya, Raja Matindok memberikan sepasang burung Maleo sebagai hadiah atas kelahirannya.
Beberapa tahun memimpin sebagai Raja Banggai, Adi Soko berniat untuk kembali ke tanah jawa. Dengan sepasang burung Maleo dibawa bersamanya, namun istri dan anaknya, Sitti Aminah dan Abu Kasim tidak ikut serta. Mereka menetap di gunung Tatandak.

Pada saat itu terjadilah kekosongan pemimpin kerajaan Banggai. Pilihan raja selanjutnya jatuh kepada Abu Kasim. Saat petinggi kerajaan menjemputnya, Abu Kasim menolak dengan alasan mengingat pesan ibunya.

“Kamu jangan menjadi raja anakku, kalau tidak selama hidupmu kita tidak akan bertemu”

Abu Kasim berinisiatif untuk mencari ayahnya ke tanah jawa. Namun, saat bertemu ayahnya Adi Soko berkata “Nak, kamu harus menjadi Raja Banggai. Jika kamu tidak ingin menjadi raja, jemputlah saudaramu Mandapar di Ternate”.

Mandapar merupakan anak Adi Soko dengan istrinya keturunan portugis di Maluku Utara. Abu Kasim menyetujui ayahnya. Saat pulang Abu Kasim membawa pulang sepasang burung Maleo yang dibawa ayahnya, karena di sana burung Maleo tidak dapat berkembang biak.

Abu Kasim berhasil membujuk Mandapar untuk menjadi raja Banggai. Kemudian Abu Kasim membawa pulang sepasang burung Maleo tersebut ke Batui, dan melepasnya di Bakiriang (Sekarang Suaka Marga Satwa Bakiriang).

“Kalau Maleo ini bertelur, tolong pertama dibawa ke kerajaan Banggai” Kata Abu Kasim kepada Sang Kakek.

Telur Maleo pertama inilah yang disebut “Tumpe”. Upacara adat Tumpe dilakukan dengan membawa telur Maleo pertama saat musim bertelur ke kerajaan Banggai. Kemudian upacara adat tersebut berlanjut dengan ritual Monsawe sebagai bentuk rasa syukur telur telah diantar. Tumpe menjadi amanah yang terus dilakukan di Batui hingga saat ini.

“Adat ini lahir dari 1621, seperti amanah telur maleo ini kita antarkan ke Banggai. Amanah ini bukan upeti atau utang piutang, tapi merupakan amanah leluhur yang sampai hari ini kita laksanakan” Kata Baharudin H. Saleh, ketua adat Batui.

Upacara Adat Molabot Tumpe (kompas.com)

Prosesi Adat Molabot Tumpe

Perwakilan setiap kelurahan sudah berbaris lengkap dengan telur maleo yang telah terbalut daun lontar, dengan seragam berwarna merah dan celana hitam. Total ada lima kelurahan yaitu Kelurahan Sisipan, Bugis, Tolando, Batui dan Balantang. Setiap perwakilan bergantian memasuki rumah adat untuk menyimpan telur maleo pada tempatnya.

Telur maleo didiamkan selama satu malam di rumah adat, melalui beberapa proses ritual sebelum diberangkatkan ke pulau peling, keraton kerajaan Banggai. Rumah adat dengan interior merah yang mencolok, dimana dinding dilapisi dengan kain berwarna merah.

Setelah telur maleo berada di rumah adat selama satu malam, kemudian telur tersebut di bawa ke kerajaan Banggai menggunakan sarana kapal. Sebagai bentuk realisasi amanah yang telah diwariskan secara turun temurun selama kurang lebih 400 tahun. Banyak doa dan harapan bersama telur Maleo.

Prosesi Ritual Monsawe

Ritual Monsawe (“Batui”, youtube.com)

Ritual Monsawe merupakan serangkaian dari upacara adat Tumpe sebagai bentuk rasa syukur telur maleo telah diantar ke Banggai. Orang-orang sudah berkumpul di Kusali (Tempat Keramat) tempat diadakannya ritual Monsawe. Total ada empat kusali yaitu Kusali Loa, Kuop, Bola Totonga, dan Kusali Matindok.

Kali ini kusali Bonga Totonga dipilih sebagai tempat diadakannya ritual Monsawe. Genset sudah dinyalakan, sebagai sumber listrik untuk penerangan tempat tersebut yang berada sekitar 15 sampai 20 menit berkendara di areal hutan. Spanduk sudah terpampang bertuliskan “Melalui Ritual Adat Monsawe Kita Eratkan Tali Silaturahmi Demi Menjaga Kelestarian dan Kedaulatan Adat Menuju Masyarakat Budaya yang Sejahtera dan Bermartabat”.

Orang-orang mengisi rumah panggung kecil yang dibangun mengelilingi sebuah rumah yang lebih besar sebagai tempat ritual Monsave dilaksanakan. Orang tua dan pemuda setempat asik mengadakan diskusi, anak-anak berlarian bersenang-senang menikmati keramaian malam itu, ibu-ibu sibuk memasak di dapur umum, membuat jamuan bagi para tamu yang hadir. Tak lupa hidangan dari daging sapi dan kambing disiapkan. Dan tentunya turut serta beberapa telur maleo rebus.

Malam itu, para tetua adat telah berkumpul di dalam rumah besar, diikuti para orang tua yang sudah berada di posisi masing-masing. Dengan latar dinding kain berwarna merah muda, dan karpet merah menyala sebagai alasnya.

Syarat sudah siap, asap kemenyan telah mengepul, ritual dimulai. Bunyi gong dan gendang saling bersahutan. Mendengung diantara orang-orang yang duduk, yang siap mengalami Totembang (Katanya ini bukan kerasukan, tetapi dalam buaian para leluhur).

Saat itu, beberapa orang tua melakukan gerak gerik yang aneh dibawah sadar. Menggeleng kepala, menutup mata rapat-rapat, ada pula yang berwudu. Seperti berusaha menghadirkan sesuatu dalam dirinya. Selendang merah telah dipakai menutupi sebagian tubuh, ada pula yang digunakan sebagai pengikat kepala.

Suasana mistis semakin kental. Ibu-ibu melantunkan puji-pujian kepada sang ilahi dengan diiringi gerakan tangan. Orang yang mengalami Totembang semakin menjadi. Ada yang berjinjit memegang parang (belati) lengkap dengan sarungnya. Berputar-putar, melihat ke semua arah. Ada yang duduk sambil mempertemukan kedua telapak tangannya, kemudian meletakkannya di depan dada. Menutup mata, mengayunkan kepalanya, seiring dengan suara gong yang semakin mendengung di telinga. Ada yang melakukan gerakan seperti hendak memperagakan jurus silat. Ada pula yang seperti merengek, melakukan gerakan tangan seperti menari.

Anak-anak dan beberapa orang sibuk menonton dari celah jendela yang terbuka, menyaksikan ritual yang dilakukan semalam suntuk ini. Acara ini berlangsung sampai jam 9 pagi dan dilanjutkan dengan acara makan bersama, dan tentunya disana telah ada telur burung maleo rebus.

 

Penuhi Adat atau Punah

Banyak yang menyoroti bahwa adat ini membuat populasi burung Maleo semakin berkurang. Seperti yang dikatakan oleh Aliansi Konservasi Tompotika (ALTO).

“Penggunaan telur maleo dalam tradisi adat tumpe masyarakat Batui perlu ditinjau kembali. Mengingat status maleo sekarang terancam punah. Apalagi jika terus digunakan dalam upacara adat dengan jumlah telur cukup banyak” kata Noval Suling, manager hubungan pemerintahan ALTO.

Menurut mereka upacara adat ini mengancam populasi burung maleo. Bertolak belakang dengan pernyataan masyarakat Batui yang mengatakan bahwa alih fungsi hutan lindung Bakiriang menjadi lahan industri yang menjadi penyebab telur burung maleo semakin langka.

“Di Bakiriang tempatnya, di hutan lindung. Tapi sekarang hutan lindung sudah tiada, sudah jadi lahan kelapa sawit. Jadi sekarang burung maleo sudah berpencar. Jadi sekarang sudah susah dicari, sekarang dibeli dari daerah Bungku” ucap ibu Mahasuna Lahamusa

Sejalan dengan perkataan tokoh pemuda Batui yang mengatakan bahwa dulu sering terlihat burung maleo menyeberangi jalan. Akan tetapi semenjak dibukanya jalur bawah sebagai jalan, burung tersebut sudah tidak nampak lagi.

“Tahun 2014 kami membeli di Balingara, sebelumnya di Morowali. Tahun ini saya sendiri menjemput telur tersebut di Baturube (Cagar alam Morowali). Kalau dihitung-hitung seharga Rp. 50.000 per butir. Malah di atasnya lagi, dari 4 juta hanya 60 butir.” Kata Baharudin H. Saleh, ketua adat Batui.

Untuk memenuhi upacara adat tersebut, telur burung maleo merupakan hal yang mutlak. Namun, kondisi sekarang telur maleo sudah menjadi langkah terlebih lagi dengan adanya undang-undang yang melindungi.

“Tidak ada jaminan, jika telur burung maleo sudah tidak ada. Apalagi sudah ada undang-undang yang melarang penggunaan telur maleo, mudah-mudahan ini tidak menyentuh adat batui. Persoalannya ketika kita menyeberang ke morowali untuk membeli telur, mereka bilang kita tidak bisa jual lagi kita sudah diatur oleh undang-undang. Begitu pun jika kita ke Tolitoli, terus kita mau beli dimana?” tegas Abdul Salam tokoh masyarakat Batui.

Penangkaran burung maleo sebenarnya sudah ada di Batui, dikelola oleh berbagai lembaga. Namun itu juga yang menjadi masalah, bagaimana telur yang dilindungi dapat dipakai dalam upacara adat yang berlangsung sekitar 400 tahun.

Masalah burung maleo di Batui merupakan masalah yang sangat kompleks, namun yang menjadi kunci utama ada pemerintah. Bagaimana mengatur daerah, berikut dengan penegakkan aturan yang telah berlaku dan memperhatikan kearifan lokal masyarakat Batui.

Sumber:

Maleo dan Tradisi Masyarakat Adat Batui yang Digerus Industri

Maleo, Burung Endemik Sulawesi Yang Masih Menyisakan Teka Teki

Telur Maleo Sebagai Ritual Adat, Begini Tanggapan Aliansi Konservasi Tompotika


http://www.beritalingkungan.com/2009/08/suaka-margasatwa-bakiriang-dirambah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Maleo_senkawor



2 responses to “Molabot Tumpe dan Macrocephalon Maleo, Dua Permata Batui yang Mulai Tergerus”

  1. Nice mas agus. Mari lestarikan budaya indonesia….

    Like

  2. Ketika adat tergerus zaman, mereka mendapatkan banyak tantangan. Semoga bermanfaat yo

    Like

Leave a reply to Agus Daud Cancel reply

About Me

Civil Engineer. Python enthusiast, just playing around with python implementation on design/analysis.

Newsletter

Design a site like this with WordPress.com
Get started