
Seorang pria membersihkan puing-puing rumahnya yang rusak akibat gempa Palu dan likuifaksi di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah (Tempo)
Seperti yang dikatakan Ahmad Arif (2019) dalam Memaknai Bencana bahwa bencana alam yang bersifat katastropik mempunyai daya ubah. Tidak hanya perubahan bentang alam, tetapi terutama pada kesadaran manusia. Dimana diharapkan nantinya masyarakat lebih tangguh dalam menghadapi bencana. Dikutip dari Almanak Bencana dan Sajak-Sajak Renjana (2019).
Salah satu perubahan tersebut adalah cara pandang masyarakat terhadap hunian yang kuat (rumah tinggal) khususnya daerah pedesaan di Kabupaten Sigi.
“Kami tidak mau lagi barumah batu (Rumah Batu Bata), pakai papan saja. Kami takut sudah”. Kata salah seorang warga Desa Salua pasca gempa 28 September 2018.
Melihat rumah warga yang hancur membuat saya merasa pernyataan di atas adalah wajar. Bagaimana tidak, sebagian besar rumah yang hancur adalah rumah dengan dinding batu bata. Uniknya, rumah yang pada saat itu semi permanen dengan dinding bata sebagian, dan dinding papan kayu sebagian lagi, hanya hancur pada dinding bata saja. Dinding papan bagian atas tetap kokoh menggantung. Tidak heran dengan demikian masyarakat akan memilih rumah kayu.
Tidak dipungkiri bahwa kayu memiliki daya tahan yang lebih terhadap gempa. Semua Ahli Struktur pasti tahu tentang hal itu. Hal ini ditandai dengan massa kayu yang lebih ringan ketimbang material lain seperti bata atau beton bertulang. Namun, kita harus ingat pula bahwa harga kayu pada saat ini juga mulai melonjak tinggi. Apalagi untuk hunian dengan skala besar, membutuhkan pengorbanan hutan kayu yang banyak pula.
Di sisi lain bagi masyarakat di perkotaan atau setidaknya di pinggiran kota, mereka lebih memilih rumah batu bata dengan rangka beton bertulang yang lebih “kuat” dari biasanya. Hal ini tidak hanya terjadi untuk rumah tinggal saja, tetapi juga pada fasilitas umum seperti tempat ibadah ataupun bangunan sekolah.
Dengan memasang besi diameter 12 mm ulir, dianggap rumah akan bertahan dan kuat bila diterjang gempa besar. Maklum, sebelum gempa sebagian besar besi tulangan yang dipakai lebih kecil yaitu diameter 6 mm tulangan pokok, dengan sengkang diameter 4 mm jarak 35 cm. Realita ini saya temukan setelah melihat hasil assesment retrofitting salah satu yayasan.
Takut adalah wajar sebagai manusia, namun kita harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah dalam membangun rumah dan pertimbangan ekonomis.
Menurut Prof. Teddy Boen (2016), penggunaan besi ulir untuk tulangan utama kurang cocok kalau digunakan dengan beton mutu rendah. Hal ini berkaitan dengan pentingnya Daktilitas komponen struktur. Dikutip dari Belajar Dari Kerusakan Akibat Gempa Bumi Bangunan Nir-Rekayasa (2016).
Menurut pengalaman beliau selama puluhan tahun bahwa mutu beton umum yang digunakan adalah berkisar 75 – 125 Kg/cm2, dengan kuat leleh baja 240 MPa. Mutu beton tersebut sangat rendah terlebih lagi dengan pengaruh kualitas pekerjaan “Kontraktor” ataupun masyarakat umum.
Penyataan di atas berbanding terbalik dengan pernyataan tenaga ahli yang sebelumnya sempat saya minta konsultansi. Mereka mengatakan bahwa menurut “Standar” dari pemerintah tulangan minimum adalah diameter 12 mm ulir.
Entah “standar” mana yang mereka maksud. Sampai saat ini saya belum menemukan standar tersebut.
Di daerah Kota Palu dan sekitarnya terlihat pola yang sama saat rekonstruksi rumah di Aceh. Seperti yang telah diperingatkan oleh Prof. Teddy Boen dalam bukunya tersebut, bahwa tulangan ulir digunakan karena “konsultan” asing tidak menyadari hal ini. Pada kasus di Palu adalah konsultan negeri sendiri.
Konsultan asing terbiasa bekerja di lingkungan yang lebih maju dengan mutu beton minimum untuk struktur lebih besar dari 300 Kg/cm2. Kemudian informasi ini disebarkan secara luas di antara LSM. Hal ini merupakan salah satu kasus pemberian informasi yang tidak benar dan menimbulkan kesimpangsiuran.
Dalam perencanaan dibuat sedemikian rupa agar besi tulangan akan mencapai leleh terlebih dahulu dari pada beton. Dengan demikian diharapkan akan tercapai daktilitas, ditandai dengan regangan yang lebih sebelum gagal pada beton. Besi tulangan yang mencapai leleh ditandai dengan retak pada permukaan balok atau kolom beton. Dengan adanya retak tersebut menjadi peringatan dini bagi masyarakat sebelum runtuh.
Besi ulir (sirip) diameter 12 mm, mempunyai nilai kuat tarik yang tinggi yaitu sekitar 400 MPa. Dengan mutu besi tulangan yang tinggi tersebut, maka beton akan runtuh terlebih dahulu. Sering disebut dengan “getas” pada beton. Runtuh pada beton mempunyai sifat yang tiba-tiba, seperti bom waktu yang meledak tanpa peringatan. Dengan demikian akan membahayakan masyarakat. Selain itu penggunakaan besi ulir juga dinilai tidak ekonomis untuk rumah tinggal sederhana.
Dengan rasa takut yang berlebih, bangunan dibuat lebih kuat namun tidak memperhatikan kaidah-kaidah struktur. Sehingga ketakutan tersebut bahkan mengakibatkan bahaya baru bagi masyarakat.
Lalu apa solusi tentang permasalahan ini? Silahkan kunjungi artikel saya sebelumnya yaitu tentang Masyarakat Biasa Juga Butuh Insinyur Sipil.
Sumber:
- Neni Muhidin. (2019). Almanak Bencana dan Sajak-sajak Rencana. NEMUpublishing. Palu
- Teddy Boen. (2016). Belajar dari kerusakan akibat Gempa Bumi Bangunan Tembokkan Ni-Rekayasa di Indonesia. Gadjah Mada Universty Press. Yogyakarta